TfCpTfA9GfMpTfG9GSYiGUdoBA==

Harkodia di Negeri Koruptor

_Oleh: Wilson Lalengke_


Jakarta - Radarnet.co.id | Setiap tahun pada tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia (Harkodia). Hari penting ini ditetapkan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi. Harkodia dimaksudkan untuk mengingatkan negara-negara tentang tanggung jawab kolektif mereka untuk memerangi korupsi, memperkuat integritas, dan menegakkan keadilan.


Namun di Indonesia, peringatan ini seringkali terasa lebih simbolis daripada substantif. Realitas di lapangan memperlihatkan gambaran yang suram: korupsi telah mengakar kuat, merambah hampir setiap tingkat pemerintahan dan masyarakat.


Penetapan Hari Anti-Korupsi Sedunia didorong oleh beberapa tujuan utama. Pertama, untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak buruk korupsi terhadap pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Kedua, untuk mendorong pemerintah mengadopsi langkah-langkah antikorupsi yang lebih kuat dan menegakkan akuntabilitas. Ketiga, memberdayakan masyarakat sipil, media, dan warga negara untuk menuntut transparansi dan melawan praktik korupsi.


Intinya, Harkodia bukan sekadar tanggal seremonial. Ia hakekatnya adalah ajakan untuk bertindak, sebuah pengingat bahwa korupsi adalah musuh global yang menggerogoti fondasi keadilan dan kesetaraan.


Bagi Indonesia, Harkodia seharusnya menjadi mercusuar harapan. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan perjuangan bangsa dan memperbarui komitmen reformasi. Harapannya adalah dengan mengakui skala korupsi, Indonesia dapat memobilisasi tekad kolektif untuk melawannya. Namun, harapan saja tidak cukup. Tanpa perubahan sistemik, Harkodia hanya menjadi ritual hampa, yang diperingati setiap tahun tetapi diabaikan dalam praktiknya.


Masalah korupsi di Indonesia tidak terbatas pada kasus-kasus yang terlihat di permukaan. Korupsi bersifat sistemik, membentang dari jabatan tertinggi hingga pemerintahan desa terkecil. Tuduhan bahkan telah menyentuh mantan Presiden Joko Widodo, yang dituduh oleh OCCPR sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia. Terbukti atau tidak, tuduhan-tuduhan tersebut mencerminkan dalamnya ketidakpercayaan publik terhadap kepemimpinan dan lembaga. Ribuan kepala desa telah meringkuk di penjara akibat korupsi.


Kebusukan ini meluas hingga ke perusahaan-perusahaan milik negara seperti Jiwasraya, Pertamina, dan PLN, di mana skandal-skandal yang melibatkan salah urus dan korupsi telah merugikan negara triliunan rupiah. Di dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), korupsi digambarkan bahkan lebih parah. Praktik “setoran” atau pembayaran kepada atasan melanggengkan budaya suap dan pemerasan, yang menggerogoti disiplin dan profesionalisme.


Indikasi kuat menunjukkan bahwa pengangkatan menteri sendiri tercemar oleh korupsi. Laporan-laporan mengklaim bahwa calon menteri harus menyetor antara 400 miliar hingga 3 triliun rupiah, tergantung pada portofolio yang mereka incar. Jika benar, praktik ini melembagakan korupsi di jantung pemerintahan, memastikan bahwa para pejabat menjabat dalam keadaan terbebani utang yang harus mereka pulihkan melalui cara-cara terlarang.


Kanker korupsi tidak berhenti di lembaga-lembaga pemerintah. Korupsi menyebar ke perusahaan swasta, organisasi massa, partai politik, LSM, bahkan asosiasi pers. Dugaan korupsi hibah BUMN kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry Bangun Cs, yang hingga kini belum jelas juntrungannya, menimbulkan pertanyaan tentang integritas lembaga yang seharusnya menjaga demokrasi. Ketika pers sebagai lembaga kontrol sosial dan pemerintahan berkompromi dengan budaya korup, pemberantasan korupsi menjadi semakin berat.


Budaya korupsi yang merajalela ini telah membuat banyak orang menyimpulkan bahwa korupsi bukan lagi sekadar kejahatan di negeri ini. Ia telah menjadi cara dan gaya hidup. Dari suap kecil-kecilan hingga penggelapan besar-besaran, korupsi telah merasuk ke dalam struktur masyarakat, mengikis kepercayaan dan melemahkan fondasi moral bangsa.


Mengingat skala dan dalamnya korupsi, pemberantasan mustahil dapat dicapai dengan cepat. Memperingati Harkodia setahun sekali tidak cukup. Korupsi tumbuh subur dalam sistem yang pengawasannya lemah, akuntabilitasnya rendah, dan nilai-nilai moralnya diabaikan. Tanpa reformasi struktural dan transformasi budaya, kampanye antikorupsi hanya menjadi gestur kosmetik belaka, tidak menghasilkan perubahan apapun.


Meskipun prospeknya suram, ada jalan menuju harapan. Pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan multidimensi. Pertama, perlunya pendidikan moral sejak dini. Sejak lahir, setiap individu harus dididik dengan nilai-nilai filsafat yang berakar pada sifat cinta kejujuran dan kebenaran. Pendidikan harus menekankan integritas, kejujuran, dan tanggung jawab, memastikan generasi mendatang tumbuh bersama karakter tahan terhadap godaan korupsi.


Kedua, pentingnya dibudayakan pengawasan inheren (melekat). Birokrasi dan pengguna anggaran negara harus tunduk pada mekanisme pengawasan yang terintegrasi. Pengendalian internal, sistem pengadaan yang transparan, dan audit independen dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi.


Ketiga, peran kontrol media yang bebas di level tertinggi dan bersifat langsung harus dihidupkan. Media massa dan publik harus diberdayakan untuk memantau penggunaan dana negara secara real time, bebas dari rasa takut dan ancaman serta intervensi yang kontraproduktif. Jurnalisme investigasi, pelaporan warga, dan inisiatif data terbuka dapat mengungkap korupsi dan menekan lembaga terkait untuk bertindak.


Keempat, penguatan dan independesi lembaga hukum perlu menjadi prioritas. Pengadilan dan lembaga antikorupsi harus independen, memiliki sumber daya yang memadai, dan bebas dari campur tangan politik. Tanpa penegakan hukum yang imparsial, hukum menjadi tidak berarti.


Kelima, pentingnya dilakukan transformasi dan restorasi budaya anti korupsi. Masyarakat harus membudayakan kehidupan yang menolak korupsi, tidak hanya secara hukum tetapi juga secara moral. Stigma dan sanksi sosial, bahkan jika perlu sanksi hukuman mati, terhadap pelaku korupsi harus diterapkan di semua lini, tempat dan waktu. Sebaliknya, penghargaan atas integritas seorang pejabat atau pengguna anggaran negara akan mengubah budaya korupsi ke arah mindset anti korupsi yang relatif permanen.


Hari Anti-Korupsi Sedunia tidak boleh dianggap remeh sebagai simbolisme belaka. Meskipun tidak dapat memberantas korupsi dalam semalam, hari ini berfungsi sebagai pengingat tahunan akan kebutuhan mendesak akan reformasi. Hari ini adalah hari untuk menghormati para whistle-blower, jurnalis, aktivis, dan warga negara biasa yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengungkap korupsi. Hari ini juga merupakan hari untuk menuntut akuntabilitas dari para pemimpin dan lembaga yang gagal melindungi kepentingan publik.


Tantangan Indonesia adalah mengubah Harkodia dari ritual menjadi realita. Bangsa ini harus bergerak melampaui pidato seremonial dan pawai simbolis menuju tindakan nyata. Korupsi bukan hanya masalah hukum, melainkan krisis moral yang merusak demokrasi, pembangunan, dan martabat bangsa.


Jika bangsa ini ingin bangkit dari lumpur korupsi, Indonesia harus mengadopsi kebenaran, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas sebagai prinsip dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hari Anti-Korupsi Sedunia 2025 lebih dari sekadar tanggal di kalender. Hari ini merupakan seruan bagi nurani, seruan untuk reformasi, dan pengingat bahwa pemberantasan korupsi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa. Hanya dengan melawan korupsi secara langsung, dengan keberanian dan keyakinan, Indonesia dapat berharap dapat menjamin masa depan yang layak bagi rakyatnya. (*)


_Penulis adalah lulusan Pasca Sarjana bidang studi Global Ethics (Birmingham University, England) dan Applied Ethics (Utrecht University, The Netherlands, dan Linkoping University, Sweden)_

(Red)

Komentar0

Type above and press Enter to search.